30 November 2006

Human Rights Update : Komnas HAM Tutup Kasus Tanak Awu

PT. Angkasa Pura I (Persero) kepada Komnas HAM melalui surat tanggal 29 Agustus 2006 menyatakan belum bersedia menempuh mediasi dan mempersilahkan pihak-pihak yang merasa dirugikan menempuh jalur hukum.....

Pernyataan itu adalah jawaban terhadap tawaran mediasi Komnas HAM tentang sengketa ganti rugi pada pembebasan lahan untuk pembagunan Bandara Internasional Lombok Baru menggantikan Bandar Udara Selaparang Mataram saat ini.

Sebelumnya dalam pengaduannya kepada Komnas HAM, masyarakat bekas pemilik lahan yang akan dibangun bandara baru mengadukan soal intimidasi dan rendahnya nilai ganti rugi tanah milik mereka pada 1995. Mereka menilai ganti rugi sebesar sekitar 2000 rupiah per meter persegi tidak layak. Jumlah itu jauh di bawah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun 1995 sebesar 3500 rupiah per meter persegi. Kepada Komnas HAM mereka mengusulkan jalan mediasi.

Soal nilai ganti rugi juga disampaikan Kapolda NTB pada pertemuan dengan Komnas HAM pada 7 Oktober 2005 di Mataram. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi NTB pada kunjungan kerja Komnas HAM 6-8 Oktober 2005 juga menyampaikan informasi soal nilai ganti rugi ini.

Persoalan Tanak Awu makin membesar dan mencapai puncaknya ketika terjadi kekerasan pada saat rapat akbar 18 September 2005 di lahan yang akan dijadikan bandara, Desa Tanak Awu, Lombok Tengah. Setidaknya 27 orang petani termasuk seorang anak-anak terkena tembakan, 8 orang petani dianiaya dan 4 orang petani ditangkap oleh aparat Kepolisian Lombok Tengah. Rapat akbar ini digelar oleh Serikat Petani NTB (SERTa NTB) dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan dihadiri perwakilan petani dari sejumlah negara. Rapat akbar ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Tani 24 September yang ke-45.

Tiga orang anggota Komnas HAM yaitu H. Amidhan, Hasballah M. Saad dan Enny Soeprapto pada 6-8 Oktober 2005 memantau soal Tanak Awu. Dalam laporannya Komnas HAM menyimpulkan tiga hal yaitu pertama, telah terjadi pelanggaran hak atas tanah, intimidasi dan pemaksaan serta ganti rugi yang diberikan jauh di bawah NJOP.

Komnas HAM menyimpulkan pembubaran paksa rapat umum adalah pelangaran hak berkumpul/berapat. Meski ada korban dari pihak kepolisian Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman dan tenteram serta ancaman ketakutan karena adanya penembakan, pemukulan, penculikan dan tindak kekerasan lain.

Pada 13 Oktober 2006 tim Komnas HAM dipimpin oleh Komisioner Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, H. Amidhan, kembali bernegosiasi dengan pihak-pihak yang bersengketa agar bersedia dimediasi. Komnas HAM melakukan pertemuan dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kantor Gubernur NTB. Pertemuan itu dihadiri oleh Wakil Bupati Lombok Tengah, Muspida Propinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah. Perwakilan Direksi PT. Angkasa Pura I (Persero) juga hadir meskipun sebelumnya jelas-jelas menolak tawawan mediasi. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Polda NTB serta LSM yang menamakan diri Tim Independen. Sementara masyarakat yang meminta mediasi diwakili oleh Serikat Tani (SERTa) NTB.

Pertemuan 13 Oktober 2006 itu tidak memberikan hasil menggembirakan. Pemerintah Provinsi NTB sebagai pengambil kebijakan tertinggi di daerah yang sebelumnya diharapkan memberikan jalan keluar menyatakan menolak kebijakan mediasi. Gubernur mengatakan proses pelepasan hak atas tanah yang menjadi objek sengketa telah selesai dan sah secara hukum. Masyarakat bekas pemilih lahan telah menerima uang ganti rugi dari PT Angkasa Pusat I (Persero) pada 1995. Gubernur menyarankan jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan ini. Gubernur NTB dalam sambutan tertulisnya justru menuduh Komnas HAM terpengaruh dan ditunggangi oleh masyarakat dan LSM.

Komnas HAM menilai Gubernur NTB sama sekali tidak mempertimbangkan fakta umum yakni intimidasi saat proses pelepasan hak atas tanah. Saat itu, kekuasaan Orde Baru menggunakan kebijakan represif untuk menghadapi setiap terjadi penolakan atas kebijakan Pemerintah. Dalam kasus di Tanak Awu ini, apabila ada pemilik tanah yang menolak menerima uang ganti rugi maka pembayarannya akan dititipkan melalui PN setempat. Perspektif HAM menilai pelepasan hak atas tanah tersebut adalah pelanggaran HAM.

Melihat kenyataan ini Komnas HAM berkesimpulan bahwa upaya mediasi oleh Komnas HAM tidak bisa dilanjutkan karena para pihak tidak bersepakat untuk melakukan mediasi.

Dalam laporannya tertanggal 20 November 2006 yang ditandatangani oleh Ketua Subkomisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Komnas HAM menyatakan menutup kasus sengketa Tanak Awu kecuali para pihak bersedia untuk di mediasi oleh Komnas HAM berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selengkapnya..