26 September 2007

[Buku] Darah Haid dan Pekerja Perempuan

Judul Buku : Hak-hak Pekerja Perempuan
Penulis : Editus Adisu dan Libertus Jehani
Penerbit : visimedia
Tahun : 2006
Jumlah Halaman : vii+51 halaman
Ukuran : 14,5 X 20,5 cm

Entin (nama samaran), harus mengambil sampel darah haidnya di kamar mandi khusus di pabriknya. Di kamar mandi ini tersedia kapas khusus. Pekerja pabrik pengolahan rajungan di Kecamatan Juntinyuat, Indramayu itu lalu menunjukkannya kepada manajer personalia dan manajer produksi yang keduanya adalah laki-laki. Malu. Tapi dia tidak berani menolak, takut dipecat.

Aturan itu dipenuhinya sebagai syarat mendapatkan cuti haid dua hari di perusahaannya. Resah, karena dia sendiri jijik melihatnya.

Hingga berita ini diturunkan oleh Harian Pikiran Rakyat (25/8/2006) sudah tiga orang buruh perempuan pekerja yang menjalani peraturan baru itu.

Sebelumnya, sampel darah itu cukup ditunjukkan kepada satpam wanita. Meski tetap malu tapi tidak begitu mengapa karena sesama wanita. Sekarang, aturan itu ditambah. Demi alasan produktifitas mengejar target produksi, darah kotor itu juga harus ditujukkan kepada atasannya, laki-laki.

Entin adalah salah seorang dari serkitar 150 orang perempuan pekerja pabrik pengolahan rajungan ekspor itu. Para buruh menilai aturan tersebut aneh. Semakin aneh karena perusahaan juga membatasi cuti haid hingga tanggal 20 setiap bulannya. ”Ini kelewatan, ” ujar seorang buruh. Tidak ada yang bisa menentukan kapan haid datang.

Sebenarnya mereka paham akan hak cuti haid selama dua hari setiap bulannya. Hak ini dijamin oleh hukum. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 1993 menjamin hak cuti haid pada hari pertama dan kedua masa haid.

Aturan yang diterapkan oleh perusahaan tempat Entin bekerja adalah indikasi perusahaan menghambat penikmatan hak-hak pekerja perempuan sebagaimana dijamin oleh Pasal 11 ayat (1) butir f Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).

Indonesia sudah mengesahkan CEDAW. Artinya konvensi itu telah mengikat secara hukum dan sama pentingnya dengan aturan-aturan nasional yang lain.

Perempuan pekerja juga memiliki hak cuti hamil. UU Tenaga Kerja No. 13 Tahun 1993 masing-masing 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Umumnya aturan ini disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan manajemen.

Perempuan yang keguguran kandungan juga berhak mendapatkan hak istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan.

Aturan nasional sebenarnya sudah menjamin hak-hak pekerja perempuan. Namun, dalam beberapa kasus hak-hak ini tidak dipahami secara baik. Hanya beberapa hak saja yang diketahui. Padahal hak pekerja perempuan tidak hanya cuti haid dan melahirkan.

Beberapa hak yang sering tidak diketahui, misalnya, adalah hak menyusui. Perusahaan harus menjamin bahwa pekerja perempuan mendapatkan kesempatan seperlunya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Kasus di Indramayu menunjukkan bahwa buruh berada dalam posisi yang lemah. Mereka sebenarnya jelas-jelas menolak kebijakan perusahaan. Namun, kekuatan modal dan ketergantungan pekerja perempuan pada perusahaan mengalahkan suara mereka. Mereka takut dipecat.

Buku ini menguraikan secara khusus tentang hak-hak pekerja perempuan. Penyajiannya sederhana. Pembaca akan mudah memahami isinya. Misalnya tentang perempuan pekerja yang bekerja dan pulang pada pukul 23.00 s.d. 05.00. Perusahaan harus menyediakan angkutan antara jemput untuk mereka. Kewajiban diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep. 224/Men/2003.

Sanksi bagi perusahaan yang tidak menyediakan angkutan antar jemput untuk mereka yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 s.d. 05.00 mendapatkan sanksi pidana. Ancamannya kurungan paling sedikit satu bulan dan paling lama 12 bulan atau denda paling sedikit sepuluh juta rupiah atau paling banyak seratus juta rupiah.

Hak-hak pekerja perempuan dibahas dalam bagian ketiga dan bagian keempat. Pada bagian keempat khusus membahas sanksi bagi pelanggar hak-hak pekerja perempuan. Pada bagian ketiga ini dibahas hak-hak pekerja perempuan yaitu larangan pemutusan hubungan kerja (PHK), perlindungan pekerja di malam hari, cuti haid dan cuti hamil/cuti keguguran.

Seorang perempuan tidak bisa di-PHK karena alasan menikah, sedang hamil dan melahirkan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1989.

Bagian kedua buku ini membahas hak-hak dasar pekerja/buruh yang harus dilindungi. Pembaca diajak untuk memahami, diantaranya, menghitung Tunjangan Hari Raya (THR) dan pesangon.

Perempuan pekerja harus berani memperjuangkan hak-haknya. Untuk itu perlu pengetahuan tentang hak-hak mereka. Pengetahuan adalah kekuatan. Mereka bukan pemilik modal. Tapi dengan pengetahuan dan solidaritas pekerja mereka akan mampu mengubah kebijakan-kebijakan diskriminatif.

Perempuan identik dengan urusan domestik. Kultur dan pemahaman menyumbang pada pola kebijakan perusahaan yang diskriminatif. Pekerja perempuan dianggap sebagai golongan kelas kedua. Penghargaan dan kesejahteraan sering dibedakan.

Perempuan dibedakan dengan laki laki. Upah perempuan lebih rendah. Pengambilan kebijakan minim dari peran perempuan. Apabila ditambah dengan minimnya pengetahuan maka lengkap sudah penderitaan perempuan di dunia kerja. Perempuan pekerja akan tetap jadi kelas kedua.

Bahasan dalam buku kecil ini penting untuk diketahui. Memahami hak-hak pekerja adalah bagian dari strategi penguatan dan pemberdayaan pekerja perempuan.

Namun, hanya dengan membaca buku ini bukan jawaban tuntas terhadap persoalan pekerja perempuan. Karena buku ini pun perlu disempurnakan. Kalau masih ada revisi atas buku ini, penulis perlu memasukkan instrumen internasional yang telah disahkan Indonesia. Karena, intrumen-instrumen itu sudah menjadi hukum nasional.

Setelah memahami tentang hak-haknya secara menyeluruh maka penting juga untuk memahami strategi praktis memperjuangkan pemenuhannya. Buku ini adalah bagian awal dari proses pembangunan kesadaran dan perjuangan bahwa pekerja perempuan memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh perusahaan. *** *Dimuat di Konstitusi No. 18 Januari-Februari 2007


Selengkapnya..

14 September 2007

Apakah Kombatan?

Kombatan adalah seluruh anggota angkatan bersenjata yang terjun ke arena konflik, terkecuali staf medis dan keagamaan. Angkatan bersenjata terdiri atas semua organisasi angkatan bersenjata, kelompok-kelompok dan unit-unitnya yang berada di bawah sebuah perintah yang bertanggung jawab atas aksi yang dilakukan oleh para bawahannya dalam konflik. Mereka adalah subyek dari sistem disipliner internal yang mengharuskan pelaksanaan hukum konflik bersenjata dimana anggota-anggotanya, paling tidak ketika mereka ikut dilibatkan dalam suatu operasi militer, mengenakan seragam atau alat tempur yang membedakan mereka dengan warga sipil.

Indonesia menganut sistem pertahanan SISHANKAMRATA (sistem pertahanan keamanana rakyat semesta). Rakyat (sipil) adalah unsur sistem pertahanan. Dalam kondisi perang, warga sipil turut dalam sistem pertahanan (perang). Mereka ikut juga berperang. Saat perang kemerdekaan, warga sipil turut berperang bersama dengan tentara. Mereka juga turut mebawa senjata. Oleh karena itu warga sipil di Indonesia adalah kombatan.


Selengkapnya..

13 September 2007

Apakah Hukum Den Haag?

Hukum Den Haag pada intinya menyangkut cara, metode dan persenjataan perang. Hukum Den Haag terdiri atas Konvensi Den Haag II 1899 dan Konvensi Den Haag IV 1907. Berkaitan dengan hukuman pidana, tujuan utama Konvensi Den Haag adalah mewajibkan negara pihak pada konvensi agar menghukum para tersangka pelaku pelanggaran.

Hukum jus in bello seringkali dipisahkan antara hukum humaniter (hukum Jenewa) dan hukum Den Haag. Pemisahan ini bermanfaat untuk tujuan studi. Namun demikian, pada kenyataannya, dua hukum tersebut saling terkait.

Selengkapnya..

11 September 2007

Prinsip Dasar Hukum Humaniter

Jean-Jacques Rousseau memberikan inpirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia bilang bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka.


Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.

Protokol Tambahan 1977 merinci dan menegaskan kembali prinsip-prinsip ini khususnya prinsip pembedaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek militer. (Pasal 48 Protokol I dan Pasal 13 Protokol II).

Protokol Tambahan I dan II 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 melarang kombatan menyamar sebagai orang sipil, penyerangan yang membabi buta atau tidak pandang bulu dan penyerangan tempat ibadah dan monumen serta penyerangan objek-objek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk. Kedua Protokol tersebut juga melarang tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror.

Prinsip berikutnya adalah proporsionalitas yaitu usaha untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu di pihak sipil dalam operasi militer. Protokol mengharuskan segenap pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk mengambil langkah pencegahan yang mungkin bisa diambil menyangkut sarana dancara berperang yang dipakai untuk menghindari atau memperkecil timbulnya kerugian ikutan berupa korban tewas dan luka di pihak sipil dan kerusakan objek sipil yang melebihi keuntungan militer yang diperoleh.

Selengkapnya..

10 September 2007

Cabang Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional adalah istilah yang sering dipakai oleh banyak orang. Hukum humaniter internasional sama artinya dengan hukum konflik bersenjata dan hukum perang. Dua istilah terakhir sering dipakai oleh angkatan bersenjata.

Hukum humaniter internasional memiliki dua cabang yaitu Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Kedua nama itu diambil dari nama kota-kota dimana tempat kedua hukum itu untuk pertama kali dihimpun.

Hukum Jenewa disusun untuk melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat dalam perang dan orang-orang yang tidak terlibat lagi dalam permusuhan yaitu penduduk sipil. Sedangkan Hukum Den Haag menghimpun hak dan kewajiban negara-negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer, dan membatasi alat yang digunakan untuk berperang.

Protokol Tambahan 1977 mengkombinasikan kedua cabang hukum tersebut. Oleh karena itu, saat ini perbedaan antara keduanya hanya berkaitan dengan nilai-nilai sejarang dan pendidikannya saja.

Selengkapnya..

07 September 2007

Apakah Hukum Humaniter Internasional?

Hukum Humaniter Internasional (juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia dan membatasi penderitaan di masa perang.

Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama dalah Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara universal. Konvensi-konvensi ini mengandung kelemahan dalam beberapa aspek seperti perilaku pertempuran dan perlindungan orang sipil akibat pertempuran. Kelematah-kelemahan ini dikoreksi dengan diadopsinya dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.

Hingga saat ini 194 negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol Tambahan I dan II Indonesia belum meratifikasi.

Selengkapnya..