Berikut ini adalah surat dari peneliti
LIPI Mochtar Pabottingi kepada St. Sularto, salah satu pimpinan di Redaksi
Kompas soal pemecatan Bambang Wisudo, wartawan senior Kompas. Kasus ini menjadi pembicaraan hangat di ruang-ruang milis. Kemarin (21/12/06) ratusan orang berdemo di Kompas menolak pemecatan Bambang Wisudo.
Saya suka membaca surat ini. Kesan teduh dan bijak saya rasakan setelah membacanya. Mochtar tergambar sebagai orang yang berdiri di tempat yang tepat.
----------------------------------------------------------------------------------------
Mas Larto Yang Budiman,
Pertama sekali terima kasih banyak saya sempat ditilpon beberapa hari lalu sehubungan dengan kasus yang terjadi di intern Harian Kompas antara Manajemen dengan wartawan seniornya, Bambang Wisudo. Kasus ini sudah saya ketahui dari Sri Yanuarti, isteri Bung Wis, rekan sekantor di P2P-LIPI, sejak hari Jumat malam, 8 Desember. Waktu itu kami bersama sedang mengikuti lokakarya di Hotel Kartika Chandra. Sejujurnya sudah sejak hari itu pula saya ikut risau dan sedih atas terjadinya kasus tersebut, sebab itu bisa merugikan reputasi dan/atau berdampak negatif baik bagi Kompas maupun bagi Bung Wis, apalagi jika itu berkembang menjadi buruk. Dan saya sungguh tak menginginkan perugian reputasi atau dampak negatif itu bagi kedua belah pihak.
Mas Larto,
Saya telah merasa dekat dengan Kompas sejak 1974, yaitu ketika Kompas sudi memuat tulisan novice saya. Lama baru saya sadari bahwa Kompas membaca dan mendidik jauh ke depan. Seperti Budaja Djaja sebelumnya dan mingguan Tempo serta jurnal Prisma sesudahnya, dengan pemuatan itu Kompas telah meluangkan jalan bagi seorang anak muda untuk tampil dan berkiprah secara nasional. Takkan pernah saya berhenti berterimakasih untuk itu. Saya ikut menyaksikan Kompas tumbuh secara mandiri dan terhormat sebagai salah satu dari amat sedikit penerbitan yang kontinu menyebarkan pencerahan multidimensional dalam kehidupan bangsa kita dengan sekaligus menjamin kesejahteraan para karyawannya.
Sejak tahun 1974 itu hingga saat ini, sudah tak terhitung berapa kali sudah Kompas mengundang dan mengikutsertakan saya dalam kegiatan multidimensionalnya , termasuk mewawancarai dan/atau memuat tulisan saya secara patut–singkatnya mensponsori saya secara dan pada tempat yang terhormat–dalam pelbagai acara. dan kesempatan. Khususnya di bawah pimpinan Pak Jakob, saya senantiasa merasakan bahwa Kompas terus melangkah dalam kombinasi yang pas antara modal berkah kerja (earned capital), ketercerahan (enlightenment) dan kebijaksanaan (wisdom). Pada Kompas sepanjang yang saya tangkap selama ini saya mengamati adanya konsistensi dalam upaya menggerakkan kemajuan serta menegakkan kebajikan dalam hidup berbangsa/bernegara . Kita butuh Kompas terus dengan kiprah demikian hingga terus ke masa depan yang jauh.
Ingatan saya lekat pada Bung Wis mungkin sejak atau sebelum 1998, yaitu ketika dia pertama kali mewawancarai saya di rumah atau di kantor, sebagai seorang yang santun dan kritis sekaligus. Sama halnya Mas Larto, Mas Tommy, Bung Daniel, rekan-rekan senior lainnya di Kompas, dan di atas semuanya Pak Jakob yangsemuanya kerap saya jumpai, rasa dan rasio saya juga nyambung dengan Bung Wis. Semua wawancara saya dengan Bung Wis yang dimuat Kompas, umumnya menyangkut kondisi politik dalam hiruk-pikuk masa transisi, disiapkan dan ditulis secara prima. Begitu pula dengan laporan-laporan Bung Wis dari daerah-daerah konflik, di mana dia bertahun-tahun meliput untuk Kompas dan dengan ikhlas mempertaruhkan jiwa-raganya. Bisa saja saya keliru, tapi saya selalu merasa bahwa ada afinitas yang kuat dalam hal-hal yang saya rindukan sebagai rute profesionalitas, sebagai jalan pribadi yang bajik dan berharkat, dan/atau sebagai bangunan masa depan bangsa kita dengan hal-hal yangBung Wis juga rindukan. Saya selalu merasa bahwa saya dan Bung Wis sama-sama tergiur pada yang bajik dan berharkat, dan insya Allah takkan membudak pada materi, apalagi yang diperoleh secara tak patut.
Mas Larto Yang Budiman,
Saya risau dan sedih karena telah terjadi konflik antara dua pihak yang sama-sama sudah lama saya sayangi, yang keberlanjutan kiprah positifnya terus saya dambakan. Saya sungguh tak ingin konflik ini berlanjut, apalagi berdampak negatif tak terbalikkan. Saya risau dan sedih karena dihadapkan pada dua posisi yang bagi saya mustahil. Di satu sisi, sulit bagi saya memihaki salah satu pihak dalam konflik ini, sebab memihaki berarti membenarkan berlanjut dan tersimpulnya konflik sebagai konflik, sementara secara esensial saya tak melihat kemungkinan akan adanya pemenang sepihak di sini. Jika konflik diteruskan, dalam bentuk apa pun, hasil akhirnya menurut tilikan saya adalah pasti sama-sama kalah. Di sisi lain, juga sulit bagi saya untuk memilih berpangku tangan hanya karena tak bisa memihak itu, sebab berpangku tangan berarti turut membiarkan konflik.
Oleh karena itu dengan surat ini perkenankan saya mengimbau Manajemen Kompas dan wartawan senior Kompas, Sdr. Bambang Wisudo untuk sama-sama mengalihkan tatapan pada keindahan kebajikan dan kebijaksanaan, untuk tidak melangkah ke arah penyimpulan konflik sebagai konflik, melainkan membelokkannya ke arah kebajikan. Beda dengan penerusan konflik yang sejujurnya saya yakini akan berujung pada posisi sama-sama buruk, jalan kebajikan akan berujung pada posisi sama-sama bajik.
Untuk itu, Mas Larto, perkenankan saya mengimbau agar tiap pihak menetapkan hati pada bahasa dan perilaku yang bajik–tradisi yang sedari dulu sudah dibangun oleh Kompas; agar tiap pihak tidak sampai terjebak ke dalam atau memberi peluang pada peruakan perangkap ego+kuasa–atas nama korporasi atau organisasi–yang nyata dan/atau potensial bisa berlaku pada kedua belah pihak dalam konflik ini.
Mari kita berhenti terperangkap pada orang atau situasi ketika ia jadi mala,
lalu begitu saja mengubur ingatan ketika ia begitu lama bona dan dengan
penanganan yang bajik bisa kembali demikian.
Dalam peringatan Professor Driyarkara baru-baru ini, Pak Jakob–setia dan jujur pada diri beliau–menekankan pentingnya wisdom dan compassion. Hanya dengan wisdom dan compassion kita bisa terhindar dari perangkap ego+kuasa yang cenderung membutakan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik.
Penerusan konflik antara dua pihak yang sama-sama bajik hanya akan membuat kedua-duanya serta merta jadi tak bajik. Dengan hati yang bersih dan nir-pamrih, saya sungguh berharap agar pada posisi konflik saat ini, kedua pihak sama-sama tak memasang harga mati dan, sebaliknya, berusaha sekuat mungkin memilih jalan penyelesaian yang melegakan kedua pihak.
Mas Larto Yang Budiman,
Saya sadari sepenuhnya bahwa menulis surat seperti ini mengandung risiko ke diri saya sendiri, bisa dari kedua pihak sekaligus. Insya Allah, saya siap. Ini memang adalah salah satu momen di mana integritas kita tertantang secara genting. Setelah berusaha sebatas kemampuan mendengar suara dari kedua belah pihak, yang tentu mustahil tuntas, surat ini saya tulis karena saya cinta, karena saya peduli.
Wassalam,
Mochtar Pabottingi
Selengkapnya..