20 February 2007

Silet Copet

Sejak ponsel saya dicopet dalam sebuah bis Patas 6 jurusan Kampung Rambutan-Grogol tahun lalu, saya tidak meletakan dompet dan ponsel di saku celana atau di saku kemeja saya. Dompet dan ponsel saya masukkan ke dalam tas punggung saya.


Tapi copet tidak bakal kehilangan akal. Saya sadar telah dicopet setiba di kantor. Tas saya bagian samping robek rapi memanjang kurang lebih 10 sentimeter. Nampak seperti bekas disobek dengan silet atau benda semacamnya. Tidak ada harta benda yang ilang. Ponsel dan dompet saya terselip di lembaran buku. Alhamdulillah. Aman.


Bis Patas 79 Tadi pagi saya naik Patas 79 AC dari UKI (Universitas Kristen Indonesia), Cawang. Bis ini menuju Kota dari Kampung Rambutan. Di UKI bis sudah penuh. Penumpang berdiri hingga bibir pintu. Saya memaksa masuk karena pada jam-jam berangkat kantor mustahil dapat bis dengan bangku kosong kecuali saya naik dari Terminal Kampung Rambutan.


Saya naik dari pintu belakang. Saya tidak memperhatikan siapa orang-orang di dalam bis. Tapi saya merasa tas saya ada yang menarik kaut. Hampir kurang lebih tiga menit saya merasa tas saya ada yang menarik.


Saat itu di bagian luar dari pintu bis ada perempuan berjilbab. Saya mempersilahkan dia untuk masuk ke dalam. Maksud saya, biarlah saya bergelantungan di pintu bis, kalau perlu. Tapi perasaan, sulit sekali dia masuk karena terhalang tas saya. Saya baru menyimpulkan pada saat itu tas saya ditarik, tertahan, sehingga perempauan ini sulit masuk. Pada saat itu nampaknya tas saya disobek.


Bis Patas 6 Ini


adalah kejadian kali kedua yang saya alami. Tahun lalu tas punggung saya yang lain pernah dirobek di bis Patas 6. Bis ini punya trayek Kampung Rambutan-Grogol. Saya naik dari Stasiun Cawang. Saya sadar setelah turun di UKI. Syukur tidak ada barang saya yang hilang.
Ilustrasi :
www.ranesi.nl/tema/kamera/copet_copetan_051209

Selengkapnya..

19 February 2007

Ritual Sebelum Tidur

Ketika kantuk datang, Hanivah akan langsung tidur dalam pangkuan 10-15 menit setelah mobil berjalan. Di kamar, meski dalam kantuk berat, mata memerah, Hanivah tidak langsung tidur, ribut sendiri, merengek-rengek minta keluar dari kamar, berguling-guling dari ujung kasur satu ke ujung kasur yang lain. Dia akan merentangkan kedua tangannya tanda minta digendong untuk diajak jalan. Rengekannya terdengar terus-menerus sampai dia tahu sudah berada di luar kamar.
Tadi malam, hingga jam 9 malam anak saya sembilan bulan ini belum juga mau tidur. Akhirnya saya gendong keluar rumah. Semilir angin cukup dingin. Bunyi binatang malam sayup terdengar ditambah musik dari stereo set tetangga depan. Dalam suasana dan tempat seperti ini dia baru tenang dan mengoceh satu dua vokal, memegang pagar cor besi itu dan mengusap-usap tembok pagar kusam itu.
Istri saya sempat kasih ide untuk mengajak jalan-jalan memutari komplek rumah dengan mobil. Dengan ritual seperti ini pasti Hani akan langsung tidur di mobil. Setelah itu di tempat tidur tidak rewel lagi karena sudah dalam kondisi tidur.
Saya tidak memenuhi usul itu karena nantinya akan jadi kebiasaan. Hampir 15 menit saya dan istri menemani Hani di teras depan. Satu dua nyamuk bersliweran. Setelah terlihat dalam kondisi nyaman Hani kami bawa ke kamar dan kami tidurkan. Susu botol yang dari tadi disiapkan akhirnya diminumnya. Padahal sebelumnya dia melempar susu botol ini. Dalam marah dia akan menolak segala benda baik mainan, empeng maupun susu botol.
Jam 21.30 Hani tidur terlelap. Saya bahagia memperhatikan wajah anak saya dalam kondisi seperti ini. Bersih dan tanpa beban ditunjukkan oleh warna wajahnya. Tadi pagi Hani bangun pada pukul 6.30, lebih lambat 30 menit dari hari-hari sebelumnya. ***
Foto : Hanivah terlelap dalam pangkuan Mbah Buyut, Kasli (10/9/06).

Selengkapnya..

Pindah Kerja

"Pindah ke swasta aja kali ya," kata saya kepada istri saya dalam bahasa Jawa. Jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) itu memang harus selalu berhemat. Nggak, ada bonus apalagi liburan akhir tahun. Kalau PNS kaya, meski dari hasil halal, harus siap-siap mendengarkan tuduhan korupsi dari tetangga kanan kiri.

Obrolan sebelum tidur malam tadi topiknya adalah seputar evaluasi 2 tahun setelah saya menyandang status abdi negara. Saya sudah menenapkan tahap pertama menjadi PNS cukup dua tahun. Setelah itu harus ada evaluasi apakah masih bertahan atau harus cari peluang lain.

Beberapa hari yang lalu saya gagal masuk ke lembaga lain yang konon memberikan tingkat kesejahteraan lebih baik dari kantor saya sekarang (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Istri saya bilang berarti memang rejekinya masih di kantor yang sekarang. Seorang istri kebanyakan lebih senang dengan pendapatan tetap meski lebih kecil, misalnya, dibanding gaji di swasta. Tapi statusnya jelas. Oleh karena itu dia lebih sepakat dengan kantor yang sekarang.
Saya sendiri kurang sepakat dengan pendapat istri. Saya lebih berani beresiko. Gaji tinggi pasti resikonya lebih tinggi, dipecat, perusahaan bangkrut dan kemungkinan lain. "Orang lama" bilang, PNS itu mapan karena dijamin pensiun. Tapi Bapak mertua saya bilang orang yang mengandalkan pensiun adalah orang malas. Betul juga dengan pendapat ini. Waktu menunggu masa pensiun (56 tahun) masih lama. Masih banyak peluang besar yang bisa diraih. Ngapain nungguin pensiun.

Bapak Mertua saya adalah PNS TVRI yang keluar karena pertimbangan di atas. Meski harus terseok-seok di awal. Alhamdulillah bisa hidup. Bapak mertua saya terkena stroke. Sepuluh tahun sudah. Sekarang bisa jalan kaki meski tidak tidak seratus persen normal. Dia "pensiun dini" karena harus harus istirahat total. Perusahaan kontraktornya dihibahkan ke anak buahnya karena tidak mau menanggung kemungkinan hutang-hutang bila ke depan nanti perusahaan ini dililit utang.

PNS bukan status mewah. Masih banyak peluang. Bila ada peluang lebih baik maka dengan senang hati saya akan lepas status ini.

Hanivah, anak saya, masih terlelap.

Istri saya bilang saya baru dua tahun bekerja dengan status PNS. Orang sukses butuh perjuangan panjang.
Hanivah bangun. Istri saya menenangkan dia. Saya harus menyiapkan susu kaleng untuk anak saya.
Ilustrasi : http://www.barcode.it/img/work.jpg

Selengkapnya..

Menuruti Primbon

Malam-malam sebelum saya pindah rumah, Bapak Mertua saya (Sukimin Joyo Suparto) sudah buka-buka buku panduannya : Primbon Betaljemur Adamakna. Setelah diitung-hitung atas dasar weton saya dan istri (Is Wahyuni) ketemulah hari baik : Selasa, 2 Januari 2007, pagi. Perlengkapan pindahan yang harus dibawa adalah tikar, sapu lidi dan bantal. Malam sebelum pindahan saya harus memindahkan dulu benda-benda tadi dari rumah sewa saya ke rumah mertua. Rumah kontrakan saya satu blok dengan rumah mertua.

Pada 2 Januari 2007 pagi, saya harus mengantar barang tadi dari rumah mertua ke rumah baru melewati jalan memutar. Padahal rumah sewa saya dengan rumah baru satu jalan meski beda satu blok. Hematnya, dari rumah sewa saya cukup berjalan lurus ke rumah baru. Tapi namanya syarat saya harus melakukan saran tadi. Kata Bapak saya, itu syarat biar rejeki lancar. Manurut hitung-hitungan rumah saya menghadap barat dan itu cocok dengan weton (hari lahir) saya.

Saya sendiri tidak percaya dengan hitung-hitungan Jawa meski saya dilahirkan di tanah Jawa. Seharurnya saya jalan kaki membawa serta tiga benda tadi. Tapi karena ga mau dibilang orang gila akhirnya saya dan istri sepakat membawanya dengan mobil dengan jalur tetap memutar.Saya mengikuti saran Bapak mertua hanya atas dasar penghormatan terhadap Bapak, tidak lebih dari itu. Mungkin bagi kaum Ahlusunnah wal Jamaah, apapun alasannya, yang saya lakukan adalah pelanggaran hukum agama. Wallahu 'alam.
Ilustrasi :
http://www.baliadpro.com

Selengkapnya..